Masalah Pemimpin dan Kepemimpinan Baru
Indonesia

Masalah-masalah Bangsa
Sampai detik ini sejumlah masalah masih mengidap di tubuh bangsa
ini. Di bidang Politik, hukum dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa rapuh.
Rumah bangsa ini tidak punya pagar. Kapal-kapal asing bebas keluar masuk
menjarah ikan di perut laut pedalaman. Bahkan negara tetangga tanpa rasa takut
memindahkan patok-patok batas negara. Maklum, peralatan perang tentara kita
lawas. Sementara, budaya koruptif begitu akut dan sistemik ada di seluruh
struktur urusan publik.
Di sektor Kesra, sejumlah borok bangsa masih belum hilang: Angka
kemiskinan tinggi. Pendidikan dan kesehatan mahal. Anak-anak busung lapar belum
hilang dari angka statistik. Untuk urusan bencana, begitu lambat penanganannya.
Ini adalah wujud minimnya rasa empati negara terhadap kesengsaraan rakyatnya.
Belum lagi konflik horizontal, baik yang bermotif sara ataupun bermotif
ekonomi. Ini pertanda negara tidak hadir di saat rakyat membutuhkan sebagai
lembaga yang memiliki otoritas mengatur ketertiban.
Di bidang ekuin. Kita tidak berdaulat atas nasib ekonomi kita
sendiri. Bahkan, kalah nyali dengan pemodal asing dalam setiap negosiasi
membagi kue hasil usaha. Akibatnya, kita krisis energi. Antre minyak menjadi
pemandangan sehari-hari. Antre bensin. Pemadaman listrik.
Kenapa itu semua terjadi? Banyak faktor yang menjadi sebabnya. Tapi,
ada satu faktor mendasar yang menjadikan itu semua terjadi, yaitu kegagalan
para elite kita memimpin bangsa ini. Sejatinya seorang pemimpin adalah orang
yang secara berani mengambil alih masalah orang lain menjadi tanggung jawab
dirinya. Ia problem solver masalah lingkungannya. Celakanya, beberapa dekade
kepemimpinan bangsa ini justru diemban bukan oleh seorang problem solver. Jika
pun ada, masih malas berpikir. Tidak kreatif dalam mencari solusi. Setidaknya
masih tambal sulam. Akibatnya, tidak ada satu masalah bangsa pun yang
terselesaikan secara tuntas.
Kenyataan itu bisa kita dapati dalam potret keseharian masyarakat,
tercetak di surat kabar, dan terekspose di kotak kaca televisi di ruang
keluarga rumah kita. Siapapun presidennya, rakyat selalu harus antre minyak
tanah untuk kompor mereka. Siapapun gubernur di ibukota, macet dan banjir
adalah penyakit akut yang entah kapan akan enyah dari kehidupan keseharian
warga kota.
Repotnya lagi jika pemimpin yang terpilih justru menjadi problem
bagi bangsa ini. Setiap hari rakyat digempur dengan masalah-masalah yang tidak
perlu tapi dibuat pemimpin jenis ini. Sehingga tak heran jika hampir semua
pemimpin di negeri ini masa akhir jabatannya adalah tragedi. Soekarno
sebelumnya dielu-elukan rakyat, akhir masa jabatannya tercatat begitu suram. Ia
digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam kesendirian.
Begitu juga Soeharto. Bapak Pembangunan ini pun tersungkur di masa
akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyedihkan lagi.
Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot beramai-ramai lewat sebuah
mekanisme yang hampir tidak masuk akal.
Tak heran jika akhirnya masalah-masalah yang membelit bangsa ini
jadi bertumpuk dan tidak pernah diselesaikan. Sebab, kepemimpinan yang ada
hanya sibuk membangun benteng kekuasaan dengan permainan citra. Semua masalah
bangsa diselesaikan dengan retorika, iklan di media massa, atau setidaknya
dengan kata “akan” lewat statemen di forum kenegaraan. Dengan kata “akan” itu
seolah-olah masalah telah terselesaikan. Padahal tidak. Persis seperti seorang
ABG yang mendempul wajahnya dengan bedak tebal guna menutupi bopeng bekas
jerawat. Wajahnya terlihat mulus memang. Tapi, bopeng di wajahnya masih tetap
ada.
Karena itu, bangsa ini memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi
problem solver. Pemimpin seperti ini tentu lahir dari generasi baru. Bukan dari
generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan juga berasal dari individu
yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu.
Itulah hukum besi suatu perubahan. Sesuatu berubah dan menjadi
baru karena memang diganti dengan yang baru. Banyak cara melakukan perubahan.
Ada yang mengambil jalan radikal revolusioner. Perubahan radikal. Terbuka juga
model persuasif gradual. Hanya saja cara terakhir ini ternuansa kompromi. Di
tahun 1998 bangsa ini memilih cara kompromi. Reformasi adalah buah kompromi
rejim Orde Baru yang membuka ruang bagi kaum reformis untuk tampil di tingkat
nasional. Yang terjadi kemudian –dan itu kenyataan hari ini—kompromi itu
menghasilkan simbiosis yang aneh yang kemudian menjadi paradoks gerakan
reformasi. Tak jelas lagi siapa yang reformis dan siapa yang antireformasi.
Perubahan baru yang signifikan baru akan terjadi jika terjadi
perubahan kepemimpinan yang cukup radikal. Bangsa ini membutuhkan pemimpin
baru. Pemimpin yang menjadi antitesis karakteristik kepemimpinan gaya lama.
Tapi, tentu saja kepemimpinan baru itu tidak berpola pikir nihilis. Pasti ada
sisi-sisi positif yang dihasilkan dari kerja kepemimpinan masa lalu. Hal-hal
positif itu tentu saja batu pijakan yang bagus untuk memulai step baru bagi
perjalan bangsa ini ke depan.
Proses kelahiran kepemimpinan baru saat ini sangat memungkinkan.
Syarat-syarat yang ada, baik berupa kondisi sosial, ekonomi, dan politik sudah
lengkap. Tinggal satu faktor penting yang belum ada: munculnya aktor yang
berinisiatif menjadi penggerak perubahan. Perlu orang yang berani, jujur dengan
cita-cita perjuangan, memiliki komitmen dan keteguhan terhadap ideologi dan
cita-cita perjuangan, serta sabar dalam berjuang. Aktor perubah berkarakter
seperti itulah yang dibutuhkan sebagai pemimpin di hari ini. Jangan sampai
bangsa ini seperti keledai. Selalu mengulang kesalahan yang sama: memilih
pemimpin bertipe makelar yang hanya mencari untung bagi kepentingan pribadinya
sendiri.
Masalah Lahirnya
kepemimpinan nasional
Namun kelahiran kepemimpinan baru seperti itu di pentas nasional
bukan tanpa kendala. Setidaknya masih ada katup budaya yang perlu dijebol.
Masyarakat kita masih berpola pikir tradisional, masih menganggap pemimpin itu
seperti manusia setengah dewa. Bahkan, di masa raja-raja Hindu dahulu, pemimpin
adalah titisan dewa. Mitos Ratu Adil pun masih menjadi pengalaman yang
mengendap di alam bawah sadar kebanyakan masyarakat kita.
Karenanya, memunculkan kepemimpinan baru harus dilakukan dengan
merasionalisasikan pikiran masyarakat. Masyarakat harus diyakinkan bahwa
pemimpin itu adalah manusia biasa yang punya titik lemah disamping
keintimewaan-keistimewaan individual yang dimilikinya. Sehingga dengan begitu,
tidak akan ada pengagungan terlalu berlebihan kepada seorang pemimpin dan
ketika ada “cacat” dalam kepemimpinannya tidak terjadi tragedi yang mencoreng
sejarah kepemimpinan bangsa ini.
Jika rasionalitas masyarakat telah tercipta, maka kepemimpinan
nasional akan terbentuk dari sebuah sistem demokrasi yang kuat. Ada rule of the
game yang jelas. Di era tansisi seperti sekarang ini, kita membutuhkan
elite-elite kepemimpinan nasional yang waras. Pemimpin-pemimpin yang visioner
dan transformatif. Setidaknya untuk mendidik dan menyiapkan masyarakat menjadi
rasional. Tentu saja cara yang paling efektif adalah dengan keteladanan.
Pemimpin-pemimpin di masa transisi ini harus bisa menjadi suri teladan
masyarakat. Jika para elitenya rasional, maka pengikutnya juga rasional. Bukan
waktunya lagi elite hidup dan eksis dari memanipulasi massa pengikutnya. Itu
jika kita ingin Indonesia menjadi negara modern.
Tipe Kepemimpinan Baru
Masyarakat berkali-kali kecewa. Mereka membutuhkan tipe
kepemimpinan baru, yaitu kepemimpinan dari lapisan generasi muda. Ada tiga
karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat: pertama, perencana. Masyarakat
membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan
menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga
visi perubahan yang dicitakan bersama.
Kedua, Pelayanan. Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang
pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai
konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu
melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja yang solid.
Ketiga, Pembina. Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak
pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah
bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa dan menjadi teladan bagi
kehidupan masyarakat secara konprehensif.
Untuk menumbuhkan tipe kepemimpinan baru, dibutuhkan proses
belajar yang berkelanjutan dalam berbagai dimensi. Pertama, dimensi belajar
untuk menginternalisasi dan mempraktikan nilai-nilai baru yang sangat
dibutuhkan bagi perubahan kondisi bangsa sehingga membentuk karakter dan pola
perilaku yang positif sebagai penggerak perubahan.
Kedua, belajar untuk menyaring dan menolak nilai-nilai buruk yang
diwarisi dari sejarah lama maupun yang datang dari dunia kontemporer agar tetap
terjaga karakter yang otentik dan perilaku yang genuine. Ketiga, belajar untuk
menggali dan menemukan serta merevitalisasi nilai-nilai lama yang masih tetap
relevan dengan tantangan masa kini, bahkan menjadi nilai dasar bagi pengembangan
masa depan.
Namun kepemimpinan baru bukanlah proyek trial and error. Melainkan
upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada kenyataan aktual. Krisis
ekonomi-politik yang masih terus berlanjut menuntut tokoh yang kompeten di
bidangnya dan memiliki visi yang jauh untuk menyelamatkan bangsa dari
keterpurukan. Bencana alam dan sosial yang terjadi silih berganti menegaskan
perlu hadir tokoh yang peka dan cepat tanggap terhadap penderitaan rakyat serta
berempati dengan nasib mayoritas korban. Ketiga, tantangan lintas negara di era
informasi membutuhkan urgen kesadaran akan masalah-masalah dunia yang
mempengaruhi kondisi nasional dan jaringan yang luas dalam memanfaatkan sumber
daya. Keempat, goncangan dalam kehidupan pribadi dan sosial mensyaratkan adanya
kemantapan emosional dan spiritual dari setiap pemimpin dalam mengatasi
problema diri, keluarga, dan bangsanya.
Tipe pemimpin baru seperti ini bukan hanya dibutuhkan segera di
pentas nasional. Tapi, juga di tingkat lokal. Karena itu, bangsa ini
membutuhkan secara masif proses pengkaderan (baca: sekolah kepemimpinan) yang
outputnya bisa diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak mungkin
memainkan peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak bangsa yang memiliki
kualitas kepemimpinan yang mumpuni.
Tantangan Indonesia Masa
Depan
Tantangan lingkungan Indonesia masa depan sangat beragam. Namun,
kata kuncinya adalah dinamika perubahan yang begitu cepat. Dinamika perubahan
itu tercipta dari isu-isu seperti globalisasi, regionalisasi, knowledge
economy, dan borderless world.
Dalam menghadapi situasi dunia yang dinamis seperti itu, bangsa
ini harus punya perspektif yang berbeda tentang tipe kepemimpinannya.
Pemimpin di masa mendatang bukan hanya pemimpin yang berkarateristik
seperti diinginkan oleh para pengikutnya. Tapi, terdapat harapan-harapan bahwa
Pemimpin di masa depan mampu memenuhi dan memiliki kondisi-kondisi seperti
berikut ini:
1.
The meaning of direction (memberikan visi, arah, dan tujuan)
Seorang pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion), perspektif, dan arti dalam proses menentukan maksud dan tujuan dari kepemimpinannya. Setiap pemimpin yang efektif adalah menghayati apa yang dilakukannya. Waktu dan upaya yang dicurahkan untuk bekerja menuntut komitmen dan penghayatan.
Seorang pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion), perspektif, dan arti dalam proses menentukan maksud dan tujuan dari kepemimpinannya. Setiap pemimpin yang efektif adalah menghayati apa yang dilakukannya. Waktu dan upaya yang dicurahkan untuk bekerja menuntut komitmen dan penghayatan.
2.
Trust in and from the Leader (menimbulkan kepercayaan)
Keterbukaan (candor) merupakan komponen penting dari kepercayaan. Saat kita jujur mengenai keterbatasan pengetahuan yang tidak ada seluruh jawabannya, kita memperoleh pemahaman dan penghargaan dari orang lain. Seorang pemimpin yang menciptakan iklim keterbukaan dalam kepemimpinannya adalah pemimpin yang mampu menghilangkan penghalang berupa kecemasan yang menyebabkan masyarakat yang dipimpinnya menyimpan sesuatu yang buruk atas kepemimpinnya. Bila pemimpin membagi informasi mengenai apa yang menjadi kebijakannya, pemimpin tersebut memberlakukan keterbukaan sebagai salah satu tolok ukur dari “performance” kepemimpinannya.
Keterbukaan (candor) merupakan komponen penting dari kepercayaan. Saat kita jujur mengenai keterbatasan pengetahuan yang tidak ada seluruh jawabannya, kita memperoleh pemahaman dan penghargaan dari orang lain. Seorang pemimpin yang menciptakan iklim keterbukaan dalam kepemimpinannya adalah pemimpin yang mampu menghilangkan penghalang berupa kecemasan yang menyebabkan masyarakat yang dipimpinnya menyimpan sesuatu yang buruk atas kepemimpinnya. Bila pemimpin membagi informasi mengenai apa yang menjadi kebijakannya, pemimpin tersebut memberlakukan keterbukaan sebagai salah satu tolok ukur dari “performance” kepemimpinannya.
3.
A sense of hope (memberikan harapan dan optimisme)
Harapan merupakan kombinasi dari penentuan pencapaian tujuan dan kemampuan mengartikan apa yang harus dilakukan. Seorang pemimpin yang penuh harapan menggambarkan dirinya dengan pernyataan-pernyataan seperti ini: saya dapat memikirkan cara untuk keluar dari kemacetan, saya dapat mencapai tujuan saya secara energik, pengalaman saya telah menyiapkan saya di masa depan, selalu ada jalan dalam setiap masalah. Pemimpin yang mengharapkan kesuksesan, selalu mengantisipasi hasil yang positif.
Harapan merupakan kombinasi dari penentuan pencapaian tujuan dan kemampuan mengartikan apa yang harus dilakukan. Seorang pemimpin yang penuh harapan menggambarkan dirinya dengan pernyataan-pernyataan seperti ini: saya dapat memikirkan cara untuk keluar dari kemacetan, saya dapat mencapai tujuan saya secara energik, pengalaman saya telah menyiapkan saya di masa depan, selalu ada jalan dalam setiap masalah. Pemimpin yang mengharapkan kesuksesan, selalu mengantisipasi hasil yang positif.
4.
Result (memberikan hasil melalui tindakan, risiko, keingintahuan,
dan keberanian)
Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang berorientasi pada hasil, melihat dirinya sebagai katalis –yang berharap mendapatkan hasil besar, tapi menyadari dapat melakukan sedikit saja jika tanpa usaha dari orang lain. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, tolerasi terhadap risiko, disiplin dari seorang “entrepreneur”.
Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang berorientasi pada hasil, melihat dirinya sebagai katalis –yang berharap mendapatkan hasil besar, tapi menyadari dapat melakukan sedikit saja jika tanpa usaha dari orang lain. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, tolerasi terhadap risiko, disiplin dari seorang “entrepreneur”.
Selain empat kondisi di atas, terdapat pula beberapa falsafah
pemimpin yang harus dipegang teguh pemimpin masa depan Indonesia. Pertama,
pemimpin harus punya integritas. Bukanya kita selalu selalu mengatakan, paling
enak berhubungan dengan orang yang memiliki integritas. Kedua, pemimpin harus
mengakui akan adanya perbedaan dan keanekaragaman bangsa kita. Dengan demikian,
pemimpin masa depan negeri ini mampu mengelola segala perbedaan budaya, latar
belakang suku dan agama, serta kepentingan seluruh elemen bangsa ini lalu
mengubahnya menjadi peluang dan kelebihan. Jadi pemimpin masa depan adalah
pemimpin ang berpikiran terbuka (open minded).
Selain itu, pemimpin masa depan adalah pemimpin yang sadar betul
bahwa segala tindakan dan keputusannya akan berpengaruh terhadap orang lain
atau sekelompok masyarakat. Dan ini juga yang melandasi kepemimpinannya menjadi
begitu empati dengan nasib dan derita rakyatnya. Dalam sejarah mungkin
kepedulian Umar bin Khaththab seperti dongeng yang mustahil bagi pemimpin masa
sekarang. Umar memanggul sendiri sekarung gandum saat ia mendapati seorang ibu
memasak baru untuk mendiamkan anaknya yang lapar. Jika ada perasaan empati
seperti ini sedikit saja saat ini, tentu rakyat korban Lumpur Lapindo tidak
akan mengalami penderitaan yang menahun.
Suksesi dan Rotasi
Kepemimpinan Nasional
Sudah saatnya panggung suksesi kepemimpinan nasional di tahun 2009
diisi dengan isu memunculkan kepemimpinan yang kuat, yang mempunyai kemampuan
membangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika
kehidupan berbangsa dan bernegara; pemimpin yang memiliki keunggulan moral,
kepribadian, dan intelektual. Sudah waktunya kepemimpinan nasional dipegang
oleh pribadi yang bersih, peduli, dan profesional. Jangan serahkan tongkat
kepemimpinan bangsa ini kepada pemimpin dengan kepribadian yang tidak konsisten
dan dikelilingi lingkungan yang tidak kondusif.
Namun isu suksesi kepemimpinan bukan hanya di tingkat nasional
saja. Karena negeri yang luas ini tidak boleh kita gantungkan kepada satu
pribadi saja. Seharusnya bangsa ini perlu menata ulang sistem kepemimpinannya.
Perlu meritokrasi kepemimpinan. Bangsa ini harus membuka kesempatan untuk
munculnya pemimpin-pemimpin baru bukan hanya berdasarkan level struktural
lembaga pemerintahan, tapi juga per segmen sektor kehidupan masyarakat. Bukan
masanya lagi kepemimpinan menjadi monopoli segelintir elite. Urusan olahraga
harus didorong untuk dipimpin oleh orang-orang yang bergelut di bidang
olahraga. Jangan lagi dikooptasi oleh pejabat negara dan dipakai sebagai
portofolio di urusan politik. Dengan begitu, dunia olahraga akan profesional
dan meraih prestasi menjadi ideologi perjuangannya.
Sudah bukan masanya lagi suksesi kepemimpinan diseleksi oleh para
elite sendiri. Apalagi jika berdasarkan keturunan. Seorang ibu dan ayah
menyerahkan tongkat kepemimpinan partainya kepada anak kandungnya, atau seorang
paman kepada keponakkannya. Seharusnya pemimpin adalah seorang petani yang
membuka ladang seluas-luasnya agar bibit-bibit pemimpin baru tumbuh di
sekelilingnya. Adalah fakta bahwa bangsa Indonesia punya potensi yang luar
biasa. Bukan sekali dua kali pemuda-pemudi kita menjadi juara olimpiade ilmiah
di pentas internasional. Kita juga saksikan di layar kaca talenta bocah-bocah
negeri ini di arena Pildacil dan acara sejenisnya. Tentu potensi mereka akan
tidak tumbuh-kembang jika kepemimpinan bangsa ini dihegemoni berdasarkan satu
atau dua trah keturunan saja.
Pemimpin Indonesia masa depan adalah orang yang membuka kesempatan
untuk bagi siapa pun untuk muncul ke pentas nasional. Ia menghapus kendala
budaya yang ada seperti paternalistik, feodalisme, dan mental abdi dalam dari
setiap individu anak bangsa. Sebagai pemimpin, pemimpin baru Indonesia masa
depan harus menjadi sosok yang berani memberi tantangan dan resiko kepada
kader-kadernya. Sebab, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang menjadi
sekolah bagi pemimpin generasi selanjutnya.
Sebagai sekolah bagi pemimpin masa depan, pemimpin haruslah
membuka pintu-pintu seleksi bibit unggul bangsa ini hingga ke pelosok dan
pojok-pojok lapis masyarakat. Tak ada salahnya belajar dari Brazil yang selalu
berhasil dalam memilih 11 orang pemain sepak bola dunia. Mekanisme
kaderisasinya mampu menghasilkan pemain sepakbola kelas dunia dan dengan jumlah
suplai yang luar biasa. Salah satu upayanya yang menonjol adalah melakukan
talent scouting dari seluruh lapisan masyarat termasuk yang paling miskin pun.
Namun dalam hal menjaring pemimpin masyarakat mereka juga belum berhasil betul
walaupun hal ini sudah dipraktekkan. Jika kita tiru pendekatan yang memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi penjaringan dari seluruh tingkat masyarakat
dan membangun budaya meritokrasi yang berimbang, maka bukan mustahil, stok
kepemimpinan bangsa ini over suplai. Kondisi itu akan membawa dinamisasi
kepemimpinan. Daur kepemimpinan menjadi cepat. Kepemimpinan akan selalu
dipegang oleh orang-orang muda yang masih fresh dan penuh vitalitas. Seleksi
kepemimpinan akan terjadi berdasarkan prestasi. Apa yang sudah dibuat. Bukan
karena anak siapa. Dengan begitu kepemimpinan akan bergaya egaliter.
Itulah tipe pemimpin muda Indonesia yang diidam-idamkan.
Leadership action kata kuncinya. Potensi, prestasi, dan kesempatan menjadi
jalan persemaiannya. Tunjukanlah langkah-langkah nyata dalam menjalankan aksi
sebagai perwujudan aksi kepemimpinan dan ini menjadi contoh bagi para
pengikutnya. Jangan malu membuat koreksi atas kekurangan ataupun kesalahan
karena penegasan aksi yang genuin menjadi penuntun mereka yang dipimpin. Mari
kita semai kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin yang kokoh bagi bangsa
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar